Krisis yang terjadi di Amerika Serikat yang berdampak pada gejolak saham global dianggap justru akan menguntungkan perbankan syariah dan negara-negara yang pasarnya sedang berkembang (emerging market).
"Jangan-jangan capital inflows ke Indonesia malah makin tinggi, tidak ada lagi orang yang berani investasi di Amerika. Investor khawatir, mereka malah cenderung ke negara-negara emerging, malah makin masuk," kata Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Mulya E Siregar, usai acara CEO Gathering, Sosialisasi Fatwa DSN-MUI No.82 Tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah, di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Senin, 8 Agustus 2011.
Hingga saat ini, lanjut Mulya, krisis keuangan AS itu belum berdampak signifikan kepada perbankan syariah maupun ekonomi syariah. "Downgrade, kalau saya melihat belum terlihat pengaruhnya ke perbankan syariah ya, belum ada," ungkap Mulya.
Seperti diketahui, penurunan rating utang pemerintah AS oleh S&P dari AAA menjadi AA+ membuat bursa efek global berjatuhan. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga terpangkas. Penurunan parah juga terjadi pada Jumat, 5 Agustus 2011 yang anjlok 200,44 poin atau 4,86 persen di level 3.921,64.
Senin kemarin, 8 Agustus 2011, indeks terus terkoreksi hingga 4,45 persen menjadi 3.747,21 pada perdagangan pukul 11.11 WIB menjelang penutupan perdagangan hari ini.
Aset Perbankan Syariah
Mulya menjelaskan bahwa hingga Juni 2011 total aset perbankan syariah mencapai Rp112,8 triliun, sehingga jika dihitung pertumbuhannya mencapai 45,4 persen dari Juni 2010. Sedangkan jika dihitung pertumbuhan tahun 2011 saja maka tumbuh 12,52 persen dibanding Desember 2010 yang hanya Rp100,25 triliun.
Kemudian, lanjut Mulya, dana pembiayaan Juni 2011 mencapai Rp85 triliun atau tumbuh 47,4 persen dari Juni 2010 dan year to date nya tumbuh 21,04 persen. Sedangkan dana pihak ketiga pada Juni 2011 mencapai Rp88,79 triliun atau meningkat 49,35 persen secara year on year dan billa secara year to date tumbuh mencapai 14,37 persen.
• VIVAnews
Tidak ada komentar
Posting Komentar