saat mudik libur imlek kemaren, membuat saya miris.. ternyata kampungku sangat sepi dikala tak ada event tanggal merah nasional. Sangat sepi bukan karena tak punya sumber daya yang handal… sama sekali bukan, tetapi sangat sepi ditinggal orang orangnya yang merantau… mengadu nasib di kota, ..
saat ini..siapapun itu, mengadu nasib di kota, entah surabaya, entah jakarta, atau bahan luwar negara.
Trus hubungannya dengan ke-mirisan saya apa??
yaaa.. apa lagi klo nasib para petani di desaku…, sekarang para petani itu yang ada hanyalah tinggal pak- pak tua jompo yang memang sudah nggak punya niatan lagi ke luwar negeri, sudah tak punya alasan lagi untuk keluar dari tanah kelahirannya.. walau kadang di iming-imingi agar pindah ke kota, ke jakarta dan ke surabaya.. mengikuti jejak keberhasilan anak-anaknya.
sekarang para petani di desaku hanyalah dijaga oleh para anak anak muda yang bisa dihitung jari, yang memang mengakui tak bisa bersaing di tanah rantau karena ijazahnya, atau karena harus menunggu orang tuanya yang sudah sepuh.
Saat ini, semua lahan garapan di desaku nggak ada yang menggarap, selain para orang tua yang sudah (maaf )agak rabun kalo malam menjelang, yang sudah kedinginan kalau hujan datang tiba tiba.
Profesi menjadi petani adalah profesi yang sangat sangat dihindari di sini, para anak anak kelahiran kampungku disini lebih memilih kuliah jurusan teknik sipil, teknik elektro, teknik perminyakan atau bahkan ada yang memilih teknik nuklir, yah karena memang rata-rata cerdas.
Tapi.. saat melihat hamparan sawah di kampung, saya jadi berfikir, ketika para orang tua itu nanti telah tiada, siapa yang mau meneruskan mengayunkan cangkulnya? menjaga air yang harus terus mengalir ke sawahnya.
Ataukah nanti, semua orag harus beli nasi ke Thailand? ( beli beras maksudnya), atau nanti semua dari kita mengantungkan makan kita ke vietnam dan China?
Saya hanya berdoa, agar para petani itu terus bekerja keras, agar semua orang metropolitan ini bisa terus makan, karena kami semua masih makan hasil pertanian…
salam rindu buat kampungku
saat ini..siapapun itu, mengadu nasib di kota, entah surabaya, entah jakarta, atau bahan luwar negara.
Trus hubungannya dengan ke-mirisan saya apa??
yaaa.. apa lagi klo nasib para petani di desaku…, sekarang para petani itu yang ada hanyalah tinggal pak- pak tua jompo yang memang sudah nggak punya niatan lagi ke luwar negeri, sudah tak punya alasan lagi untuk keluar dari tanah kelahirannya.. walau kadang di iming-imingi agar pindah ke kota, ke jakarta dan ke surabaya.. mengikuti jejak keberhasilan anak-anaknya.
sekarang para petani di desaku hanyalah dijaga oleh para anak anak muda yang bisa dihitung jari, yang memang mengakui tak bisa bersaing di tanah rantau karena ijazahnya, atau karena harus menunggu orang tuanya yang sudah sepuh.
Saat ini, semua lahan garapan di desaku nggak ada yang menggarap, selain para orang tua yang sudah (maaf )agak rabun kalo malam menjelang, yang sudah kedinginan kalau hujan datang tiba tiba.
Profesi menjadi petani adalah profesi yang sangat sangat dihindari di sini, para anak anak kelahiran kampungku disini lebih memilih kuliah jurusan teknik sipil, teknik elektro, teknik perminyakan atau bahkan ada yang memilih teknik nuklir, yah karena memang rata-rata cerdas.
Tapi.. saat melihat hamparan sawah di kampung, saya jadi berfikir, ketika para orang tua itu nanti telah tiada, siapa yang mau meneruskan mengayunkan cangkulnya? menjaga air yang harus terus mengalir ke sawahnya.
Ataukah nanti, semua orag harus beli nasi ke Thailand? ( beli beras maksudnya), atau nanti semua dari kita mengantungkan makan kita ke vietnam dan China?
Saya hanya berdoa, agar para petani itu terus bekerja keras, agar semua orang metropolitan ini bisa terus makan, karena kami semua masih makan hasil pertanian…
salam rindu buat kampungku
Tidak ada komentar
Posting Komentar